TRAGEDI BALI DAN PERLUNYA
MENTAL SWITCH
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Saya baru
saja selesai menyampaikan ceramah mengenai Isu-Isu Kontemporer Islam di Indonesia di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia)
Denpasar, ketika ledakan di samping Konsulat AS itu terjadi sekitar pukul 11 pm, malam Minggu tanggal 12 Oktober 2002. Saya
tidak mengira kalau ledakan itu adalah seri kedua dari tiga ledakan yang terjadi hampir bersamaan di kota Denpasar. Begitu
suara ledakan itu terdengar, saya langsung teriak, Ini bom, sementara teman-teman lain belum percaya dan tersenyum saja. Mungkin
mereka masih beranggapan bahwa Bali adalah sorga turisme yang paling aman di Indonesia, dan tak akan tersentuk oleh tentakel
kekerasan yang sudah merambah lebih dahulu daerah-daerah yang lain.
Esok harinya,
di kantor majalah Latitude (majalah berbahasa Inggris yang dirintis oleh Degung Santikarma dan menurut saya bagus sekali;
nomor terakhir majalah itu menurunkan sebuah liputan yang bagus tentang Pesantren Ngruki asuhan Abu Bakar Baasyir berjudul
School of Jihad), seharian saya menonton kanal lokal, TV Bali, menyaksikan puluhan jenazah diangkat dari antara reruntuhan
bangunan, dalam latar musik Peter Gabriel yang menyayat. Sambil menyaksikan tontotan yang sarat duka dan kesedihan itu, saya
hanya meneriakkan satu kata yang saya ulang-ulang, Kejam!. Untuk sementara, saya menghentikan pikiran saya. Saya sengaja menghindar
untuk menganalisa kenapa peristiwa itu terjadi, dan kenapa mesti di Bali, sorga turisme yang menjadi andalan satu-satunya
dunia turisme Indonesia yang sudah nyaris sekarat. Saya ikuti peristiwa itu dengan perasaan yang mendalam, dengan kesedihan
yang menusuk-nusuk.
Sore harinya,
saya berangkat ke bandara Ngurah Rai untuk kembali ke Jakarta. Saya sudah siap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan: penundaan
pesawat, proses pengecekan keamanan yang akan berbelit-belit dan lama, serta antrian orang-orang yang buru-buru meninggalkan
pulau dewata itu. Ternyata perkiraan itu keliru. Wajah orang-orang di bandara tidak memperlihatkan kesedihan atau panik, sementara
petugas bandara juga tidak nampak on alert. Yang agak mengagetkan adalah bahwa di bandara itu tidak terlihat tanda bahwa Propinsi
Bali benar-bendar sedang dirundung musibah. Saya berharap ada semacam spanduk, poster, bendera, atau tanda-tanda lain yang
memperlihatkan bahwa suatu tragedi sedang terjadi, dan kita layak untuk berduka bersama-sama. Sore tanggal 12 Oktober di bandara
Ngurah Rai itu, saya merasakan bahwa tak ada sesuatu yang berubah, seolah-olah keadaannya seperti mau membiarkan kafilah berlalu
saja; atau tepatnya: businness as usual.
Saya meninggalkan
Bali dengan kesedihan yang mendalam. Sejumlah hal berkecamuk dalam pikiran saya. Pertama-tama yang membayang: tragedi ini
pasti akan membuat prospek pemulihan ekonomi kita yang sudah berjalan seperti siput ini akan makin menyiput lagi. Kejadian
ini juga akan menempatkan umat Islam dalam kedudukan yang makin terpojok lagi. Sejak dari menit pertama, insting saya sudah
menuntun bahwa arah pemboman ini adalah dalam kerangka protes terhadap kebijakan-kebijakan Amerika yang terlalu unilateral
atas Irak. Jika serangan itu benar-benar terjadi, saya sudah membayangkan bahwa chain of violence akan makin panjang lagi.
Saya membayangkan, jika kekerasan seperti ini menerjang kembali Jakarta, apa yang akan terjadi. Dalam perjalanan kembali ke
Jakarta, pikiran saya dipenuhi oleh gamabaran-gambaran apokaliptik yang agak mengerikan. Saya megira-ngira, jika pemerintah
tidak tegas dan firm dalam satu kasus ini, maka rangkaian kekerasan serupa akan sangat mungkin terjadi di tempat-tempat lain.
Jika pemerintah tak becus mengatasi keadaan ini, maka sebuah sinyal telah dikirimkan ke masyarakat: bahwa begitu buruknya
sistem pengamanan di negeri kita ini, sehingga setiap orang dengan mudah bisa berbuat hal-hal yang mengancam keamanan umum
tanpa harus khawatir diborgol dan diadili.
Hari Senin
pagi, saya dikejutkan oleh komentar Abu Bakar Baasyir dan beberapa tokoh agama di Solo yang dimuat oleh beberapa media ibu
kota. Komentar itu kira-kira mau mengatakan bahwa ledakan ini adalah upaya AS untuk mengesahkan tuduhan selama ini bahwa Indonesia
benar-benar merupakan sarang terorisme, dan dengan demikian AS mempunyai alasan untuk campur tangan di negeri kita. Komentar
ini merupakan sesuatu yang janggal di tengah-tengah chorus kesedihan dan kutukan yang dikemukakan oleh semua pihak dan tokoh-tokoh
masyarakat atas ledakan itu. Saya baru sadar bahwa pandangan semacam itu juga meluas di beberapa kalangan masyarakat, bukan
saja di kalangan masyarakat awam tetapi juga kalangan terdidik. Sejumlah media ibu kota juga memuat komentar beberapa tokoh
yang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan oleh Baasyir itu. Bahkan ada tokoh yang masih mengatakan bahwa di Indonesia
tidak ada terorisme, dan bahwa terorisme adalah buatan negara asing untuk merusak citra Indonesia dan Islam.
Saya benar-benar
geram mendengar pernyataan semacam itu. Selama ini, orang seperti Abu Bakar Baasyir menyatakan bahwa tuduhan AS terhadap Al
Qaeda sebagai pelaku serangan atas WTC tidak didukung oleh bukti yang memadai. Menurut saya, hal yang sama juga dilakukan
oleh Baasyir dan kawan-kawan: menuduh tanpa bukti bahwa AS sengaja merekayasa ledakan di Bali itu untuk mengesahkan pandangan
bahwa di Indonesia memang benar terdapat jaringan terorisme internasional. Menurut saya, komentar semacam ini tidak pantas
dikeluarkan oleh tokoh agama seperti Baasyir dan kawan-kawan yang sepikiran dengan dia. Ledakan di Bali itu seharusnya menjadi
wake up call, bel yang membangunkan kita yang selama ini bersikap burung onta bahwa potensi terorisme itu tak ada di
Indonesia. Sikap menolak kenyataan semacam itu (saya menyebutnya self -denial) akan menjadi selimut yang menguntungkan bagi
kelompok-kelompok yang selama ini memang mengesahkan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Sikap
itu akan menciptakan suasana politik yang tidak menguntungkan bagi pemerintah untuk menegakkan hukum dan menindak tegas kelompok-kelompok
yang cenderung kepada kekerasan. Bagaimanapun, kita perlu memberikan dorongan dan vote of confidence kepada pemerintah
untuk menegakkan keamanan, dan dengan demikian menjaga agar proses transisi menuju demokrasi tidak dibajak oleh anarki. Ledakan
di Bali itu, bagi saya, merupakan bab baru yang tak main-main dalam proses penyelenggaraan negara kita ini. Jika sikap yang
berkembang dalam masyarakat dan pemerintah adalah sedemikian lembeknya, dan masih menganggap, Oke, keadaan masih baik-baik
saja, jangan khawatir, sebentar lagi juga akan normal lagi, atau, Jangan tuduh kami dong, ini kan perbuatan negara
asing untuk menjatuhkan citra Islam, maka saya khawatir, keadaan akan makin terpuruk lagi. Sudah sering kritik dilancarkan
oleh masyarakat kepada pemerintah karena terlalu dermawan dan baik hati kepada kelompok-kelompok pro-kekerasan yang merajalela
di pelbagai tempat. Pemerintah seperti takut manakala menindak kelompok-kelompok semacam itu, maka dia akan kehilangan kredibilitas
di mata umat Islam. Sementara, sebagian tokoh-tokoh Islam juga bersikap terlalu sensitif, seolah-olah tindakan penegakan keamanan
oleh pemerintah akan mencemarkan nama Islam secara keseluruhan. Menurut saya, diskursus masyarakat Islam telah berjalan begitu
rupa, sehingga Islam mengalami overpolitisasi yang amat berbahaya.
Saya mengkritik
keras kecenderungan selama ini yang seolah-olah hendak menyamakan Islam dengan kelompok-kelompok tertentu. Setiap tuduhan
diarahkan kepada Al Qaeda, tokoh-tokoh Islam langsung naik pitam dan menganggap hal itu akan mencemarkan nama Islam secara
keseluruhan. Menurut saya, tidak ada untungnya Islam disamakan dengan organisasi Al Qaeda pimpinan Osama ben Laden itu. Islam
lebih besar dari sekedar satu dua kelompok yang selama ini berkoar-koar mengatasnamakan diri sebagai pembela Islam. Sikap
paling berbahaya sekarang ini adalah menempatkan Islam sejajar dengan Al Qaeda, dan dengan demikian pengejaran atas jaringan
kelompok ini dianggap sebagai perang atas Islam itu sendiri. Ini sama dengan membiarkan Islam identik dengan agama kekerasan.
Tokoh-tokoh
Islam harus mengembangkan diskursus baru yang lebih sehat, yaitu mengakui tanpa malu-malu bahwa potensi Islam (dan juga agama-agama
lain) diselewengkan sebagai pengesah tindakan terorisme sangat sangat sangat mungkin. Atas dasar sikap ini, perlu dikembangkan
suatu kritik tajam atas wacana keagamaan yang hendak mengesahkan penggunaan kekerasan sebagai jalan menuju penegakan nilai-nilai
agama. Kelompok-kelompok keagamaan yang pro-kekerasan harus dikritik terus-menerus sehingga kehilangan legitimasinya sebagai
wakil tunggal umat Islam. Sudah saatnya kita meninggalkan sikap apologetik yang menjengkelkan bahwa Islam adalah agama yang
sedemikian suci dan tingginya sehingga tak bisa diselewengkan oleh para pengikutnya sendiri. Dalam era kebebasan yang sangat
murah ini, barang dagangan yang cepat laku di mata publik adalah agama; barangsiapa bisa mengemas agama untuk menarik perhatian
publik, maka dia akan dapat menguasai pendapat umum. Pada dasarnya, semua agama bisa dan berpotensi untuk diperdagangkan
sebagai komoditas politik, sebagai pengesah kekerasan, sebagai alat untuk memonopoli kebenaran.
Pandangan
bahwa ledakan di Bali adalah merupakan rekayasa negara asing untuk mengesahkan citra Indonesia sebagai sarang terorisme, merupakan
pertanda adanya sikap mental yang menurut saya kacau: seolah-olah rakyat Indonesia (dan khususnya umat Islam) begitu baik
dan luhur budi pekertinya, sehingga tak mungkin berbuat hal-hal yang bodoh. Semua tindakan yang jahat adalah kreasi dan fabrikasi
orang luar untuk menghancurkan citra Indonesia dan Islam. Sikap mental yang sok suci semacam ini tidak akan banyak membantu
mengatasi bahaya kekerasan yang sudah membayang di langit-langit negara kita. Bangsa Indonesia perlu belajar dari bangsa Jerman
yang tanpa malu-malu mengakui bahwa Hitler adalah anak kandung mereka sendiri, dan tidak usah enggan untuk mengamputasi gejala-gejala
ke arah munculnya kembali hitlerisme. Bangsa Indonesia tak usah malu untuk mengakui bahwa di bumi nusantara ini sangatlah
mungkin muncul orang-orang yang menyalahgunakan agama untuk mengesahkan kekerasan. Umat Islam tak usah ragu-ragu untuk mengakui
bahwa dari rahimnya bisa muncul anak-anak yang melakukan tindakan terorisme dan mengabaikan nilai-nilai dasar Islam itu sendiri.
Tak usah
kita meneruskan sikap menyalah-nyalahkan orang lain untuk kejahatan yang ada dalam tubuh kita sendiri. Kita perlu melakukan
mental switch, banting setir mental, dan berpikiran yang lebih dewasa: apa yang salah pada diri kita, pada umat kita; apakah
kita telah begitu sucinya sehingga tak mungkin berbuat salah?[]
Penulis
adalah Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta.
Indonesia kini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang oleh orang-orang Barat
didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Mereka sangat khawatir dengan gejala ini. Tapi ketika kita ingatkan
bahwa semua itu terjadi dalam kancah civil liberties, kecemasan mereka berkurang. Semua gejala yang terjadi akhir-akhir
ini adalah bagian dari kebebasan pembahasan atau wacana bebas. Dengan adanya wacana bebas ini, bukan hanya kejelasan-kejelasan
yang diperoleh, tapi juga akan terjadi proses-proses penisbian, relatifisasi, bahkan lebih radikal dari itu adalah proses
devaluasi.
Misalnya
jihad. Jihad sekarang merupakan suatu kata-kata yang menjadi bagian dari wacana umum. Di dalam diskusi-diskusi tentang jihad,
kesuburan untuk membuat argumen dipunyai oleh mereka yang baca. Bagi yang tidak membaca, sekalipun sangat rajin menggunakan
jihad sebagai suatu retorika, akhirnya kehilangan landasan dan keseimbangan. Akibatnya, perkataan jihad yang semula sedemikian
menakutkan tetapi kemudian mengalami kejelasan. Dan dengan adanya kejelasan itu, maka terjadi devaluasi terhadap makna jihad
sebagai retorika politik, dan karenanya kemudian menjadi isu harian semata.
Demikian
juga fenomena keagamaan, terutama Islam, yang pada tahun 1980-an sering disambut dengan suatu antusiasme, bahkan sedikit banyak
itu semacam teriakan tepuk tangan, yaitu apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. Tetapi ketika itu menjadi maslah harian,
maka terjadi semacam relativisasi.
Dunia
Islam sekarang ini, seperti ditulis oleh para ahli, mengalami apa yang disebut predicament, semacam krisis atau kegoyahan.
Salah satu indikasinya antara lain adalah fungsi dari perasaan konfrontatif dengan Barat. Saya sebut perasaan, karena konfrontasi
sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah persepsi sebagai akibat dari pengalaman
sejarah seperti misalnya yang secara retorika sering diulang: perang salib, penjajahan, dan lain-lain. Maka hal itu mengendap
di dalam kesadaran umat Islam, atau bawah sadar umat Islam, sehingga memunculkan gejala yang sepertinya anti-Barat.
Hal
itu sebetulnya merupakan suatu anomali, karena Alquran sendiri mengindikasikan, ketika dunia terbagi menjadi Roma (Barat)
dan Persia (Timur), orang Islam memihak Roma, bukan memihak Persia. Begitu juga, ada surah al-Rum yang memberikan kabar gembira
kepada pengikut Nabi Muhammad bahwa kekalahan Roma oleh Persia, yang sempat membuat orang-orang Mekkah, musuh Nabi, bergembira,
akan disusul dengan kemenangan, dan itu terbukti. Sekalipun secara geografis Arabia langsung berhubungan dengan Persia, bahkan
di beberapa daerah di Jazirah Arab sempat mengalami Persianisasi, namun batin orang Islam atau pengikut Nabi sesungguhnya
lebih dekat dengan orang-orang Roma, karena ada kaitannya dengan agama Nasrani.
Potensi
pertentangan itu disadari oleh sarjana semacam Simon van Den Berg, penerjemah kitab polemisnya Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut,
yang sangat terkenal dan banyak mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Di sini ada hal yang patut direnungkan. Dalam pengantarnya,
Simon van Den Berg mengatakan bahwa polemik ini adalah salah satu contoh yang orang Barat sendiri tidak menyadari mengenai
Islam. Dia bilang: Kalau benar kita boleh mengatakan bahwa budaya Barat pada hakekatnya adalah Maria Sopra Minerva
--agama Kristen disesuaikan dengan pola budaya setempat-- maka masjid (Islam) pun didirikan di atas puing-puing kuil Yunani.
Sehingga apa yang disebut dengan ilmu kalam, theologia, adalah adaptasi paling tidak dari segi metodologidari cara
berpikir para filsuf Yunani, terutama Aristoteles.
Karena
itu, kalau orang-orang yang disebut ahlussunnah waljamaah mengklaim sebagai pengikut al-Asyari, di dalam definisinya
mengenai Tuhan melalui perumusan sifat 20, maka sifat 20 itu sesungguhnya sangat Aristotelian. Di sana kita lihat ada perkataan
wajib, boleh, dan mustahil. Sehingga kalau Tuhan itu disebut abadi (qadim), maka rumusannya menjadi: secara akal Tuhan
itu harus qadim, harus alpha, artinya tidak ada permulaannya, dan mustahil Tuhan itu jadid, mustahil
Tuhan itu baru, dalam arti didahului oleh ketiadaan. Jadi perkataan wajib dan mustahil itu sudah menunjukkan logika Aristoteles.
Dan itu sekarang menjadi bagian yang sangat sentral dalam wacana kalam di kalangan ahlussunnah.
Menurut
Ibn Taimiyah, sifat 20 itu bidah. Benar bahwa Tuhan itu qadim, tapi, kata Ibn Taimiyah, so what? Secara rasional
itu benar, tapi apa fungsinya? Dalam sifat 20 itu, tidak dimasukkan sifat ghafur (maha pengampun) dan sifat wadud
(kasih sayang). Alasannya karena tidak mungkin dirumuskan dengan logika Aristoteles: bahwa Tuhan itu secara akal wajib
pengampun tak bisa, tidak logis. Itu hanya kita terima karena Tuhan mengatakan begitu tentang dirinya. Tapi bahwa Tuhan itu
ada dari semua, tanpa permulaan, itu secara akal bisa dimengerti.
Budaya
Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Lihat saja masjid, yang paling sederhana. Di Pondok Indah ada masjid
yang orang sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Tidak ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa?
Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak
ada menaranya. Sebab menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi.
Manarah
artinya tempat api, karena orang Majusi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai Zat yang tak bisa digambarkan. Maka akhirnya
mereka simbolkan dengan api. Api adalah suatu substansi yang tidak bisa dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap
menyembah api. Untuk memperkuat kesucian api, maka api itu ditempatkan di bangunan yang tinggi, namanya manarah, tempat
api, yang kemudian menjadi menara. Dalam uraian tentang maulid di kampung-kampung, biasanya dikatakan: ketika jabang bayi
Muhammad lahir, menara-menara orang Majusi itu runtuh.
Jadi,
pada waktu umat Islam berkembang begitu rupa, suara azan harus mencapai radius yang seluas-luasnya, maka mereka terpikir untuk
meminjam arsitektur Majusi ini, yaitu azan dari tempat tinggi. Di zaman Nabi, azan dilakukan cuma di atas atap. Bilal, muazin
Nabi, hanya naik ke atas atap yang pendek. Tapi pada masa perkembangan Islam, menara menjadi bagian dari budaya Islam. Tapi
itu tak ada salahnya, karena memang budaya tak mungkin eksklusif monolitik.
Yang
murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu,
dalam bukunya Al-Muarrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain.
Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin strada.
Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris
menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just
dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya
Arab murni.
Di
dalam Alquran juga ada Bahasa Melayu: kafur. Dalam suatu lukisan nanti kita di surga akan diberi minuman yang campurannya
kapur (wayusqauna biha kasan kana mizajuha kafura). Yang dimaksud di situ adalah kapur dari barus, yang saat itu sudah
merupakan komoditi yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman.
Waktu
itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic.
Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari
Barus. Maka kapur kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran
dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur. Dan banyak lagi yang
seperti itu.
Jadi
sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.
* Tulisan ini merupakan bagian dari orasi ilmiah Prof Dr. Nurcholish Madjid
di Taman Ismail Marzuki dalam rangka peresmian Islamic Culture Center (ICC) pertengahan Ramadhan silam.
Abdul Hadi
WM: Seni Tak Bisa Dihalal-Haramkan
Setiap bangsa memiliki seni dan budaya tertentu. Islam datang tidak untuk menghapus seni atau budaya
itu, tapi justru memberinya nafas agar tetap hidup dan berkembang. Sayangnya, banyak orang Islam yang tak memahami seni, sehingga
mereka kurang mengapresiasinya. Bahkan, sebagian fuqaha (ahli fikih) malah mengharamkan keberadaannya. Fikih tidak memadai
untuk memahami seni, ujar Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta,
kepada Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal beberapa waktu silam. Berikut petikannya.
Salah satu cerminan kebangkitan Islam adalah
munculnya tuntutan penerapan syariat Islam. Biasanya syariat hanya dimaknai sebagai fikih saja. Bagaimana Anda melihat hubungan
antara seni dan fikih?
Seni tidak dibicarakan
dalam wilayah fikih. Yang membicarakan seni dalam Islam adalah tasawuf, atau wilayah estetika dan metafisika Islam. Karena
itu, yang berbicara dan mempraktekkan seni adalah kaum sufi atau yang memiliki hubungan dengan tarekat-tarekat sufi yang telah
dilaksanakan secara turun-temurun dalam waktu yang lama.
Intinya, pendekatan fikih terhadap kesenian
kurang memadai?
Ya, fikih seni tidak
didasarkan pada sumber-sumber yang cukup kuat. Padahal orang Islam sudah berkesenian sejak zaman Nabi Muhammad, ketika beliau
hijrah ke Madinah. Juga banyak bentuk-bentuk kesenian Arab pra-Islam yang diadopsi Islam, seperti kasidah, baik dalam bentuk
puisi maupun nyanyian. Kasidah adalah tradisi orang-orang Arab sebelum Islam.
Berarti Islam datang
bukan untuk menghancurkan tradisi-tradisi itu?
Benar, Islam datang
tidak untuk menghancurkan seni. Karena seni dan instrumennya, seperti gitar misalnya, adalah netral. Tergantung apakah kita
bisa memasukkan nilai di instrumen-instrumen itu atau tidak.
Tapi ada beberapa hadis yang menyatakan larangan
bermain suling dan gitar, bagaimana pendapat Anda?
Menyangkut persoalan
tersebut, para ahli fikih terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa ada alat-alat musik tertentu yang
diharamkan, seperti suling, biola dan lain-lain, dan sebagian dibolehkan, yaitu alat-alat tetabuhan, seperti beduk atau kendang. Kelompok kedua lebih melihat realitas. Mereka meyakini bahwa soal musik adalah soal
budaya. Islam bukannya milik bangsa Arab saja. Setiap bangsa memiliki tradisi musik yang berbeda-beda. Setelah Islam datang,
tradisi musik tersebut tetap dikembangkan dan tidak dimusuhi, dan Islam masuk justru memberi semangat dan nilai baru.
Adakah yang disebut kesenian Islam? Jika ada,
apa yang membedakan kesenian Islam dengan yang lain?
Yang membedakannya adalah
bagian dalamnya, yaitu landasan estetikanya. Atau juga sistem nilai yang dikandung di dalamnya. Misalnya di dalam Islam, musik
dimaksudkan untuk membebaskan dari dunia material. Kaum sufi mengenalnya dengan istilah tajarrud. Maksudnya,
suatu metode untuk membebaskan diri dari hal-hal yang bersifat material ke hal-hal yang bersifat spiritual. Alat-alat musik
menjadi sarana atau medium untuk naik ke alam kerohanian.
Mengapa kaum sufi lebih menghargai seni ketimbang
yang lain?
Karena kaum sufi berpikir
kalau orang lebih menghargai syariah, maka orang akan melupakan akidah, ibadah, dan akhlak. Dan seni, bagi kaum sufi, dimaknai
sebagai media untuk meningkatkan pengalaman-pengalaman kerohanian dan keagamaan yang tidak diperoleh melalui ritual-ritual
lainnya.
Jadi di dalam pandangan
kaum sufi, syariah dipahami sebagai apa?
Syariah adalah wadah
dari pengalaman-pengalaman kerohanian. Syariah Nabi diperoleh ketika Nabi mengalami peristiwa Miraj yang dikatakan sebagai
pengalaman makrifat yang paling tinggi dalam Islam.
Anda bisa cerita soal praktek-praktek sufi
yang menggunakan sarana kesenian?
Misalnya tarekat Maulawiyah
yang berkembang di wilayah Turki yang menggunakan sarana berputar-putar. Pada waktu tari atau gerakan berputar itu dilakukan,
ia ditujukan untuk meraih atau mencapai suatu ekstase, mereka menjadi semakin kreatif. Tetapi bentuk-bentuk ekstase biasanya
berbeda-beda, karena tertuju dalam tafakur (kontemplasi).
Bukti yang paling gampang
adalah perbedaan antara gamelan Jawa dan gamelan Bali. Setelah disentuh oleh para wali yang mengembangkan Islam dengan mengakomodasi
budaya lokal, dan memolesnya dengan estetika Islam yang bertujuan untuk tafakur, maka gamelan Jawa menjadi sangat lembut dan
meninggi ke angkasa. Sementara, gamelan Bali sangat ornamentik, dan eksotik karena musik-musik ini dipakai untuk persembahan
kepada dewa-dewa.
Lihat saja perbedaan
antara gamelan Sunda, Jawa atau Madura yang mayoritas Islam dibandingkan dengan yang lain. Begitu juga wayangnya. Wayang di
Jawa hanya berbentuk dua dimensi, sementara di Bali, Wayang tetap berwujud tiga dimensi.
Nah karena kesenian berbeda bentuk dari suatu
negara dengan yang lain, maka Islam akhirnya memiliki wajah yang beraneka ragam?
Benar. Sama seperti perintah menutup aurat. Tetapi,
pakaian untuk menutup aurat seperti memakai kerudung, kebaya, kimono atau jilbab itu merupakan kebudayaan. Dan menyangkut
persoalan pakaian yang beraneka ragam itu tidak ada urusan dengan agama di sini. Yang penting adalah menutup aurat. Intinya,
tidak ada kewajiban menggunakan satu jenis pakaian tertentu untuk menutup aurat, karena ekspresi kebudayaannya berbeda-beda.
Bahkan pengertian aurat dari satu wilayah ke wilayah lain juga berbeda sesuai dengan kulturnya. Menutup muka bagi orang Indonesia
misalnya, tidak dianggap sebagai aurat.
Sebetulnya, bagaimana sikap Islam terhadap
budaya lokal?
Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur
lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini. Tuhan menyatakan bahwa ayat-ayat yang menunjukkan
kekuasaan Tuhan itu ada di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia.
Kita lihat di Indonesia ada perkawinan antara
Islam dan kebudayaan lokal. Di Masjid Kudus misalnya, ada menara yang bentuknya seperti pura?
Malah sebelum agama Hindu datang, bentuk-bentuk
arsitektural seperti itu merupakan tradisi orang-orang animis dan pagan. Orang Hindu pun mengadopsi dari kebudayaan sebelumnya.
Ini bukan persoalan yang aneh. Simbol gunung misalnya sebagai ekspresi kebudayaan yang menjelma dalam bentuk nasi tumpeng.
Itu kan juga budaya Hindu yang didasarkan pada mitologi mereka yang menganggap gunung sebagai simbol kemakmuran. Islam juga
menggunakan simbol gunung sebagaimana kaum sufi melihatnya sebagai makna tersirat dari pentingnya ketinggian. Maka, makam-makam
wali atau raja-raja Islam selalu berada di daerah-daerah dataran tinggi. Bukankah Nabi Musa mendapat wahyu di puncak gunung
tinggi, yakni gunung Sinai.
Bahkan menara yang dipakai untuk mengumandangkan
azan sebenarnya diadopsi dari kultur Majusi di Persia?
Ya, apalagi saat itu, tanpa dukungan teknologi,
azan sulit terdengar bila tidak dikumandangkan dari tempat-tempat yang tinggi.
Apakah setiap kebudayaan yang telah diadopsi
oleh satu agama lalu identik dengan agama itu?
Tergantung dalam perubahan sejarah. Bali misalnya,
begitu dimasukkan dalam kategori agama Hindu, menjadi seni Hindu, tapi bukan berarti seni itu diperuntukkan bagi orang Hindu
saja. Hal yang sama terjadi pada budaya Islam. Peci misalnya, bukan merupakan simbol Islam. Hanya saja, di Indonesia peci
dianggap menjadi budaya atau ciri khas Islam. Ini karena kebanyakan para santri menggunakan peci sebagai simbol kebanggaan
mereka.
Masalahnya sekarang, jika ada Pendeta yang
berkhutbah dengan memakai peci?
Itu tidak menjadi masalah. Seperti saya pernah
dengar bahwa di gereja tertentu ada pendeta yang menggunakan rawatib Yesus-Kristus. Itu tidak apa-apa. Kita tahu, hal
tersebut diadopsi dari rawatib Syekh Abdul Qadir Jaelani. Oleh sebagian orang awam, memang hal itu dianggap mengelabui
muslim agar masuk Kristen. Namun, saya kira, persoalan itu masuk dalam wilayah kesenian. Maka, ketika ada orang Islam memakai
paduan suara tidak bisa diartikan memindahkan kesenian dari gereja ke masjid atau tempat-tempat lain. Nasyid Raihan misalnya,
itu kan mirip gregorian art yang tidak lagi khas Kristen, tapi sudah kental nuansa seni Islamnya. Seni itu sebenarnya
milik suatu bangsa. Agama datang untuk memberi nafas.
Bagaimanakah perkawinan budaya itu berproses?
Semua agama ketika berkembang mau tidak mau harus
mengambil atau bersentuhan dengan budaya lokal. Dan pada saat itu, agama memberikan sesuatu kepada budaya lokal itu. Di Indonesia,
tidak ada budaya lokal yang tidak diresapi agama-agama, entah itu Islam atau Hindu atau agama-agama lainnya. Semua menjadi
hybrid (campuran), kendati pada mulanya berasal dari tradisi Syiah, kemudian menjadi tradisi Sunni, dan akhirnya menjadi
budaya nasional. Tradisi Barzanji misalnya, dulu adalah senjata ampuh bagi para wali untuk menyebarkan Islam. Begitu juga
Qasidah Burdah yang lagi-lagi berasal dari tradisi Syiah, bahkan sempat ditentang oleh kaum modernis karena dianggap terlalu
mengagung-agungkan Nabi.
Di mana letak pentingnya kesenian dalam memantapkan
religiusitas?
Kesenian selalu memberikan tempat atau jalan tentang
adanya alam rohani dalam diri manusia. Di situlah keimanan berada. Keimanan ada di dalam alam rohani, bukan alam material
ini. Bukan jasad kita yang beriman, tapi kalbu kita. Karenanya, kalbu ini harus dididik, salah satunya lewat kesenian. Jadi
bukan hanya tubuh yang dibuat disiplin, tapi juga kalbu.
Apakah kesenian selama ini sudah dioptimalkan
untuk mendidik religiusitas?
Sebagian sudah. Pada masa lalu, pembacaan karya
sastra, syair-syair, cerita-cerita dan lain-lain. Islam sendiri tidak bisa menolak kenyataan bahwa al-Quran menjadi sumber
inspirasi dari lahirnya karya-karya kesenian. Seni tilawah misalnya adalah mengambil
dari al-Quran sendiri. Kiraat dan bahkan azan sendiri adalah kesenian. Kita bisa terpancing datang ke masjid ketika azan dilantunkan
dengan suara merdu. Kalau tidak enak azannya, biasanya kita enggan datang ke sana.
Selama ini kita mengenal pembagian antara akidah,
syariah, dan akhlak. Agaknya kesenian tidak diberi tempat dalam kategorisasi itu?
Ya benar. Tapi kesenian bisa diposisikan sebagai
penguat dalam sistem peribadatan itu. Atau, dalam pengembangan intelektualitas dan spiritualitas. Dalam konteks ini, kesenian
bisa memasuki wilayah akhlak karena akhlak tidak hanya diartikan etika atau moral saja, tapi suatu keadaan hati yang baik
sehingga mempengaruhi perilaku ke arah yang lebih baik. Dan kesenian bisa mendidik melalui kalbu.
Masalahnya sekarang bagaimana orang Islam sadar
bahwa ada tiga budaya yang kurang berkembang, yakni pertama, budaya ilmu atau intelektual. Orang Islam kurang memberi
perhatian pada masalah ini sehingga pemahaman kognitif terhadap agama dan lainnya menjadi kurang. Kedua, budaya kewirausahaan
(entrepenuership). Dahulu umat Islam dikenal karena hudaya dagang ini, sekarang tidak berkembang dan tidak bisa memainkan
peranan dalam peradaban. Dan ketiga, adalah budaya kreativitas seni. Sebagai contoh, pentingnya seni itu begini: Kalau
kita berpikir secara matematis, kertas paling banter buat bungkus atau menulis. Tapi kalau berpikir estetik, kertas
bisa dibikin patung dan lain-lain.
Kesenian mengandaikan kreativitas. Sementara
kreativitas mengandaikan adanya kebebasan. Bagaimana Anda melihat hubungan antara kebebasan dan kesenian dalam masyarakat
Islam?
Di situlah masalahnya, sebagian umat Islam tidak
memberikan kebebasan bagi munculnya kreativitas berkesenian. Bukankah beragama itu sendiri mengandaikan adanya kebebasan?
Tidak ada kesempatan beragama yang baik tanpa kebebasan. Kebudayaan akan baik bila ada kebebasan, begitu juga menciptakan
karya seni. Karena itu, umat Islam jangan memakai kerangka halal-haram dalam berkesenian. Kalaupun toh memakai kerangka itu,
bukankah masih ada mubah dan makruh? Dalam kesenian, kategori yang harus digunakan adalah indah atau buruk.
Apakah kebangkitan Islam secara formalistik
bisa membatasi kreativitas seni?
Saya ingat Mohammad Iqbal 70 tahun yang lalu mengatakan:
bahwa agama Islam menjadi timbunan abu yang dingin dan gelap dan tidak memiliki eksistensi yang cemerlang seperti masa lalu
kalau kesenian dibungkam. Hukumnya pun mengikuti abad pertengahan yang feodal, falsafahnya tidak dikembangkan dan juga ilmu
kalamnya tidak dibongkar. Banyak hal yang berkenaan dengan teologi kita yang sumpek. Intinya, harus mengalami dekonstruksi
sekaligus rekonstruksi karena mazhab-mazhab agama hanyalah penafsiran terhadap ajaran Islam. Ahli fikih hanya menafsirkan
berdasarkan hukum yurisprudensi.
Mengapa bentuk-bentuk kesenian Islam tampak
terbatas. Apakah lagu-lagu Sherina bukan kesenian Islam?
Itu masih menjadi persoalan. Memang unsur-unsur
Arab sulit ditinggalkan dalam kesenian Islam. Begitu juga unsur-unsur India melekat dalam kesenian Hindu. Atau juga unsur-unsur
gregorian Kristen yang berkembang dalam kesenian di Barat. Akan tetapi, harus dikatakan bahwa tidak selalu yang berbau
kearaban atau keparsian itu pasti Islam. Karena banyak sekali lagu-lagu Arab yang tidak Islami. Misalnya lagu Fairuz dan lain-lain.
Pandangan nilai atau estetik (weltanschauung) seni Islam itu bersemangat, sementara bentuknya di mana-mana sama. Misalnya
makanan yang Islami dengan bukan, paling banter dibedakan apakah itu babi atau bukan, disembelih atas nama Tuhan atau tidak.
|
WOMEN AND GENDER IN ISLAM. The book consists of three main parts and eleven chapters besides the introduction, conclusion
and notes for the different parts. The first part contains two chapters, which concentrate on the pre-Islamic era in the Middle
East -Namely Mesopotamia and the Mediterranean Middle East. In Mesopotamia during this period women lived in a subordinated
status which was strengthened by society in accordance to the archaeological view.
TOWARD AN ISLAMIC REFORMATION. The Muslim world today bears witness to a number of Islamist projects and programmes that are
moving in all directions. There are governments that have tried to impose Islamisation from above such as that of Pakistan's.
In other countries we have witnessed the attempts to graft together Islamic thought with ideologies such as communism and
socialism, leading to grandiose schemes such as the Islamisation in Libya according to the `Green book' of Muammar Ghadafi.
|
|