Beragamalah untuk manusia,Bukan untuk Tuhan
Salah satu kekeliruan
orang-orang beragama, menurut Abdul Munir Mulkhan, adalah penekanan yang berlebihan kepada Tuhan. Akibatnya, Tuhan sering
disalahgunakan untuk membenarkan perbuatan seseorang, baik dalam bidang agama maupun urusan-urusan lainnya. Padahal, Tuhan
menurunkan agama bagi manusia bukan untuk diriNYA, tapi justru untuk manusia. Tuhan tidak membutuhkan agama, tapi manusialah
yang membutuhkannya. Karena itu, agama seharusnya diorientasikan kepada kemaslahatan manusia, bukan kemaslahatan Tuhan. Kita
harus mengkritik konsep-konsep ketuhanan klasik, ujarnya kepada Nong Daral Mahmada dari Jaringan Islam Liberal. Berikut
petikannya.
Kalau kita melihat Alquran kan kaya dengan ayat-ayat yang pluralis. Tapi di sisi lain
ada juga ayat-ayat yang tidak pluralis misalnya ayat walan tardha anka al-yahudu wala al-nashara dan seterusnya. Bagaimana cara mendamaikan ayat-ayat yang bertentangan seperti itu?
Ayat Alquran itu banyak dipahami oleh pemeluknya
lebih sebagai misi suci untuk menyelamatkan dunia dengan harapn semua orang memeluk Islam. Kalau saya sendiri memahami ayat-ayat
yang bertentangan seperti contoh tadi, itu bukan dalam pengertian misionaris formal penyelamatan supaya orang itu memeluk
agama Islam, tetapi itu sebagai fenomena sejarah saja bahwa ada sebagian orang yang mempunyai tradisi lama itu akan mempertahankan
tradisinya. Itu saja, bukan kemudian itu bentuk-bentuk orang yang memeluk agama Yahudi atau Kristen yang kemudian selalu memusuhi
Islam. Yang kedua, itu kan budaya. Jadi bukan orangnya. Sehingga sangat tidak beralasan itu dijadikan dasar bahwa orang-orang
Yahudi atau Nasrani itu orangnya, bukan kulturnya, selalu bermusuhan dengan orang Islam.
Jadi, penafsiran yang membenarkan dirinya sendiri
dan menganggap orang lain salah itu potensial menimbulkan eksklusivisme beragama?
Ya, dan itu biasanyanya selalu muncul di dalam tahap-tahap
tertentu proses hubungan sosial ekonomi politik. Jadi tidak pada awalnya. Kalau
orang tidak kenal tetangganya atau siapa yang berhubungan dengannya itu tidak beragama apa, itu kan sehat. Tapi kalau belakangan
hari diketahui beragama apa, lalu dicari-cari pembenar untuk menyalahkan orang lain.
Adakah cara untuk beragama yang sehat tanpa
prasangka?
Kalau saya itu sesungguhnya agama itu untuk siapa
sih? Selama ini terkesan kalau agama itu untuk Tuhan. Ritus-ritus itu untuk Tuhan, memuja Tuhan. Dan itu kemudian gampang
dimanipulasi oleh manusia; ini untuk Tuhan. Lalu kemudian manusia boleh tidak ngurus sesamanya. Padahal Tuhan dimanipulasi
untuk kepentingannya sendiri. Jadi sesungguhnya harus dijernihkan bahwa semua agama itu kalau kita baca dengan jernih itu
diturunkan Tuhan bukan untuk ngurusin Tuhan, tapi untuk ngurusin manusia ini. Seperti pendapat Ibn Rusyd, Ibn Thufail dan
sebagainya, agama itu ya paralel dengan pengalaman manusia.
Bagaimana pendapat Anda soal komentar A.N Wilson
yang menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan itu lebih kejam daripada candu?
Itulah. Kadang-kadang memang di satu sisi kepercayaan
kepada Tuhan itu membuat manusia menjadi bebas, menjadi kreatif. Tetapi di sisi lain, sangat mudah sekali Tuhan yang maha
segala maha itu kemudian dijadikan manusia untuk merasa dirinya paling hebat. Dan karena itu menurut saya, bukan karena cinta
Tuhan itu lebih kejam, tetapi konsep tentang Tuhan itu yang menjadikan manusia mudah berlindung untuk bertindak kejam, sadis,
dan brutal. Jadi menurut saya sekali lagi perlu kritik terhadap konsep-konsep ketuhanan klasik itu.
Maksud Anda?
Karena selama ini Tuhan itu dianggap sebagai mutlak
benar, tetapi pada saat yang sama yang mutlak itu dianggap bisa ditafsir oleh manusia. Kalau mutlaknya Tuhan itu tetap dibiarkan
pada kemutlakan itu, manusia bisa menjadi toleran kepada yang lain. Karena dari itu muncul satu keraguan, muncul suatu keserbamungkinan
bahwa jangan-jangan Tuhan yang serba mutlak itu ada di tempat lain, ada di orang lain. Karena kita tidak pernah bisa merumuskan
siapa Tuhan itu. Itulah kritik para sufi terhadap para fuqoha dan mutakallimin, karena menganggap bahwa nama-namna Tuhan yang
dirumuskan itu berdasarkan informasi yang ada, itulah Tuhan. Lalu Tuhan menjadi tidak mutlak lagi.
Manurut Anda, ada istilah God, Rabb, Yahweh
itu menunjuk pada satu substansi atau substansi yang berbeda-beda?
Kalau saya lebih melihat sesuai dengan perhatian
saya, itu sebagai satu pengalaman otentik manusia saja yang substansinya sama. Toh, semua percaya bahwa pada akhirnya yang
maha itu satu. Nah, kalau semua itu percaya seperti itu, boleh jadi yang disebut Yahweh, yang disebut Sang Hyang Widi Wasa,
Tuhan, Rabb, itu ya satu itu.
Berkaitan dengan hari raya yang beriringan
ini, hari Idul Fitri lalu hari Natal. Apakah ada makna yang tersirat dari dua hari raya yang beriringan ini?
Ini kan pengalaman sejarah saja. Ini sebetulnya
sesuatu yang biasa saja. Hari raya itu kalau menurut Islam kan sunnah. Artinya orang boleh merayakan dan boleh tidak. Tapi
karena dirembesi oleh yang mutlak, yang suci yang kita anggap bisa kita tangkap itu, kemudian menjadi problem besar. Sehingga
misi-misi kemanusiaannya itu menjadi terlupakan. Semestinya kalau pemeluk Kristen atau pemeluk Islam itu kembali menangkap
misi kemanusiaanya, itu ya biasa saja.
Tapi kalau di Indonesia, setiap hari raya itu
kan ada nuansa festivalnya. Ada nuansa perayaannya yang tentu saja berkaitan dengan tradisi. Kalau sudah menyangkut perayaan
itu kan biasanya ada nuansa yang sifatnya sakral di situ, yang berkaitan dengan yang lokal juga kan. Bagaimana menurut Anda?
Ya, sesungguhnya perayaan itu tergantung kita memberi
makna. Jadi perayaan itu pengalaman otentik manusia, bagaimana memanusiakan dirinya sekaligus memanusiakan orang lain. Kalau
hari raya itu kan ada perintah, artinya perintah ini sunnah, untuk menyambung tali kasih. Sesungguhnya kalau diterjemahkan
dengan tali kasih itu kan klop dengan Natal, yang kemudian tidak harus diterjemahkan secara sepihak; silaturahmi atau tali
kasih ini hanya di antara orang Islam sendiri. Nah, kalau kemudian itu diartikan secara terbuka; ini bagi kepentingan kemanusiaan,
untuk menjalin hubungan lebih baik lagi dengan seluruh anggota bumi, penduduk bumi, ini kan selesai sesungguhnya. Cuma kemudian
yang ada adalah diartikan secara spesifik, jadi festivalnya itu kemudian dianggap sebagai cermin dari Tuhan yang mutlak yang
suci itu. Yang kemudian, karena ini wilayah manusia, Tuhan jadi terbagi. Ketika Tuhan sudah ditangkap oleh sesorang, ia tidak
bisa lagi ditangkap oleh orang lain., sehingga Tuhan jadi rebutan.
Terakhir, bolehkah orang Islam mengucapkan
selamat Natal kepada Umat Nasrani dan sebaliknya, yang Kristen mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepada umat Islam?
Kalau kita kembali kepada yang tadi, bahwa
perlu reinterpretasi terhadap yang sakral, lalu yang maha, lalu kemudian dianggap sebagai pengalaman otentik. Ya boleh saja
kan, orang lain bergembira kita juga ikut bergembira. Saling mengucapkan. Soal surga itu serahkan sajalah kepada Tuhan. Menurut
saya biasa-biasa saja. Tapi kalau kemudian diformalkan, yang suci itu nggak terbagi, yang mutlak itu hanya satu, dan yang
satu itu mestinya nggak terbagi tapi karena ditangkap oleh manusia menjadi terbagi; kalau Tuhan sudah saya tangkap maka orang
lain tidak bisa lagi. Lalu ada klaim-klaim sepihak. Itu yang menurut saya menyebabkan hal-hal yang sederhana, misalnya tetangga
kita sedang bersuka ria dan kita menunjukkan kegembiraan, dan itu dianggap tidak
boleh.
leo_class@myquran.com |
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. 49:13)
#Mencari Tuhan dan Kebenaran#
Neraka jauh
lebih menakutkan dari Tuhan. Itu diungkap Karen Amstrong, penulis buku ini, saat menggambarkan pengalamannya tentang agama
dan keimanan pada Tuhan. Dalam bayangan masa kecilnya, ajaran agama Katolik Roma yang diajarkan para rahib dan orang tuannya
merupakan kredo yang menakutkan.
Bayangan tentang neraka sangat nyata. Secara imajinatif, gambar neraka terlihat sangat
jelas. Maknanya pun sangat mudah dipahami. Neraka adalah tempat orang-orang yang tidak mematuti aturan agama di dunia. Tapi
ide tentang Tuhan sendiri sangat maya. Gambarnya hanya bisa diabstraksikan lewat intelektual. Seorang anak hanya bisa mengatakan
Tuhan adalah Ruh Mahatinggi yang ada dengan sendirinya dan sempurna tanpa batas. Deskripsinya tak ada dan tak mungkin diadakan.
Pengertian
itu, kata Amstrong dalam buku ini, mengakibatkan timbulnya citra bahwa Tuhan itu arogan, angkuh. Kesan tentang Dia adalah
Sang Pengawas dan Penyuruh yang menyediakan surga dan neraka bagi makhluknya sebagai imbalan. Gagasan tentang neraka sangat
menakutkan. Hingga belakangan, Tuhan muncul sebagai pengawas dan penghukum yang mencermati segala pelanggaran yang dilakukan
manusia .
Buku ini bukan menceritakan sejarah realitas Tuhan, melainkan kisah pencarian, persepsi dan kepercayaan pada
Tuhan sepanjang sejarah manusia. Dan gagasan tentang Tuhan tak pernah mati. Bila diangap tak relevan lagi, selalu muncul teologi
baru yang sesuai pada zamannya.
Kepercayaan tentang Tuhan perlahan tumbuh pada 14.000 tahun silam. Saat itu manusia
mempercayai ruh suci atau kekuatan misterius. Kekuatan misterius itu lantas diasosiasikan dengan Tuhan dan dilekatkan pada
benda alam seperti bintang, matahari, air, angin dan sebagainya. Juga kepercayaan pada dewa dan raja yang dipercaya bisa melindungi
mereka dari serangan musuh.
Gagasan tentang Tuhan dalam agama monoteis semula tidak terjangkau. Kaum Yahudi menyatakan
Tuhan memang sama sekali tak bisa dipahami. Bahkan Nabi Musa tak mampu menembus misteri Tuhan. Dia terlalu agung bagi manusia.
Yahweh, Tuhannya bangsa Israel memang digambarkan sebagai sosok berbeda. Namun belakangan citra itu diubah. Ibadah yang diinginkan
Tuhan bukan sekedar lahiriah. Mereka harus memperdalam makna batin. Yahweh adalah Tuhan yang lebih mengehendaki kasih sayang
dibanding pengorbanan yang biasa dilakukan umatnya, bangsa Israel pada 742 SM. Kaum Yahudi belakangan berpendapat Tuhan tidak
datang pada manusia dengan paksaan.
Kristen adalah agama monoteis dengan doktrin trinitas. Para teolog berusaha menjelaskan
doktrin rumit ini. Bagi mereka, Yesus bukanlah Tuhan Yang Sejati melainkan manusia yang diangkat ke status Ilahiah. Lewat
Yesus, Tuhan Bapa menyampaikan dan menyalurkan segala yang ada pada diriNya.
Bagi umat Islam, mengenal Tuhan harus
dengan pendekatan akal. Dengan akal manusia bisa mengurai tanda atau pesan dari Tuhan yang disampaikah lewat wahyu dan alam
semesta.
Masa setelah Kristen dan Islam adalah zaman pencerahan. Umat islam yang semula menguasai ilmu pengetahuan
karena keharusan pendekatan akal kemudian kalah oleh bangsa Eropa. Dengan ilmu pengetahuan yang berpindah, dunia spiritual
beralih pada material. Pesatnya ilmu pengetahuan mengakibatkan gagasan tentang Tuhan dipertanyakan. Adakah Dia dapat membantu
dan mengangkat derajat hidup manusia?
Masa itulah yang kemudian berkembang menjadi sekularisme. Kultur ilmiah telah
mengakibatkan perhatian manusia hanya pada masalah material dan dunia fisik belaka. Unsur kegaiban telah hilang. Nilai spiritualisme
pun mulai redup. Dunia manusia modern hampa nilai suci.
Apa yang ditulis Karen Amstrong sebetulnya merupakan sindiran
dari kehidupan beragama seluruh umat di dunia. Aturan yang sangat ketat dan dogmatis, bagi penggagas teori sosialis dan eksestensialis
membuat manusia dengan akal dan budinya terkungkung. Mereka pasrah pada takdir. Sedang takdir adalah bagian dari kepercayaan
pada agama. Masyarakat yang hidup dalam tekanan di negeri Eropa tak mampu berbuat banyak kendati para rahib atau pendeta hidup
bergelimang kemewahan.
Karena itu Tuhan harus dibunuh. Demikian Karl Marx yang hidup dengan mimpi keadilan yang merata
bagi umat manusia. Agama hanya candu. Dan candu melenakan hidup manusia serta kemanusiaan. Tuhan harus dibunuh bila manusia
ingin bebas. Kaum eksistensialis dan ateis romantik berpendapat Tuhan merupakan pembunuh rasa kemanusiaan. Karena itu ia harus
ditinggalkan. Mengapa harus ada bila bisa tiada.
Namun sebagian filosof berpendapat gagasan Tuhan tetap harus ada demi
moralitas. Mengajarkan kebaikan tak akan mungkin tanpa menyinggung konsep agama dan ketuhanan.
Soal moralitas inilah
yang lantas menimbulkan citra baru bagi sejarah Tuhan. Teori tentang Tuhan memang dinamis. Bila tak relevan dengan zamannya,
segera muncul teori baru. Di tengah kehampaan nilai spiritualisme dan ide meniadakan Tuhan, Tuhan ternyata tetap ada. Setidaknya
wajib dianggap ada.
Dan gagasan tentang Tuhan yang hadir kini kembali pada Tuhannya kaum mistik atau sufi. Tuhan yang
mereka percaya lebih manusiawi dan banyak memiliki sifat feminin. Ini meruntuhkan gagasan bahwa Tuhan lebih dekat pada dimensi
maskulin. Bagi kaum feminis, gagasan ini tentu lebih bisa diterima. Dan bagi kaum modern, ide bahwa Tuhan bisa menyatu dengan
manusia, kendati dengan usaha keras, lebih bisa diterima. Sehingga Tuhan bukan lagi Sang Pengawas dan Penghukum tapi lebih
pada Pengasih, Penyayang dan Pemaaf.
Buku ini sebetulnya lebih merupakan hasil pencarian pribadi Karen Amstrong tentang
Tuhan dan kebenaran obyektif. Dia yang lahir dalam keluarga Katholik Roma kemudian memasuki biara. Namun batinnya tetap bergolak.
Keketatan hidup biara dan kebiasaan yang sudah seharusnya mendekatkan dia pada Tuhan justeru berdampak sebaliknya.
Pertanyaan
tentang Tuhan dan kebenaran objektif tak juga berjawab. Makin banyak berdoa dan berusaha khusyuk, katanya, makin ia merasa
gagal menghadirkanNya. Berkali-kali ide yang bersemayam di dirinya tentang Tuhan hanyalah pengawas yang sangat cermat memperhatikan
aturan yang ia langgar.
Ia memperhatikan Yesus Kristus lebih banyak disebut dibanding Tuhan sendiri. "Saya mulai punya
keraguan besar pada doktrin gereja. Ia curiga Perjanjian Baru yang mengajarkan doktrin trinitas yang sangat rumit dan kontradiktif
merupakan rekayasa para teolog berabad-abad setelah Yesus wafat.
Karen Amstrong keluar dari biara. Keimanannya pada
Tuhan menyurut. "Dia tak pernah mengunjungi hidup saya meski saya berusaha sekuat tenaga membuatnya terjadi. Namun perhatian
Karen Amstrong tentang agama berlanjut.
Perempuan Inggris ini lantas mengikuti kuliah di Universitas Oxford dan merancang
acara keagamaan di televisi. Dari bangku kuliah, ia mulai mempelajari sejarah agama dan Tuhan yang menjadi sumber kegelisahannya.
Ia bukan hanya mempelajari sejarah agama Yahudi, Kristen dan Islam tapi juga agama kaum pagan, filosof dan mistik.
Buku
ini juga bisa menjadi cermin bagi diri kita. Gagasan mana yang kita anut? Masihkah kita menanggap Tuhan dengan definisi yang
kaku atau mempercayai Tuhannya kaum sufi?[] |